Ia memang lahir dan besar di Indonesia, tapi suara emas Anggun bukan lagi milik Indonesia semata. Penyanyi kelahiran Jakarta, 29 April 1974 ini sudah bertahun-tahun hijrah ke Eropa dan mengembangkan karirnya di sana. Dan ia berhasil.
Sebagai satu-satunya musisi Indonesia yang albumnya terjual lebih dari 3 juta kopi di Eropa, wajar jika Anggun kini sudah dipandang sebagai penyanyi internasional.
Namun bukan berarti ia melupakan asal usul dan tanah airnya. Di akhir kunjungan Anggun di Indonesia, ia sempat berbincang singkat dengan Yahoo! Indonesia. Bukan hanya tentang album terbarunya, ia juga sempat menyinggung kekagumannya terhadap Tantri Kotak, Ariel Peterpan, bahkan Briptu Norman.
Album Echoes disebut-sebut sebagai album paling personal. Mengapa?
Setiap album sebenarnya personal, tetapi Echoes paling personal karena aku memproduksi album ini sendiri. Jadi sudah nggak punya bos — sudah nggak punya juragan *tertawa*
Sebelumnya ketika masih bekerja dengan label lain, segala sesuatu ada negosiasinya. Walaupun aku dipercaya oleh label untuk menyusun materi album, tetap mereka sesekali akan bertanya “Kenapa lagu ini?” Jadi aku harus bekerja mati-matian dan berkata, “No no no, [lagu] ini jangan dibuang, ini harus tetap ada.”
Tapi dalam album Echoes ini, aku lebih punya kebebasan dalam berkarya, dalam memutuskan ini-itu.
Bagaimana dengan lagu “Eternal” — yang katanya bercerita tentang kehilangan?
“"Aku berbicara sama anakku hanya dalam bahasa Indonesia."”
Lagu itu bercerita tentang bapakku yang sudah meninggal. Sayang sekali aku menerima kabar dia meninggal saat sedang di Paris dan tidak bisa datang ke Indonesia cepat. Aku tiba satu hari setelah dia dikubur.
Setiap kejadian dalam hidupku memberi aku materi untuk berpikir. Dan buat aku, kematian membuatku berpikir apa sih sebenarnya manusia itu? Manusia itu kan daging. Tetapi sebenarnya yang membikin kita manusia itu adalah spiritnya. Beberapa buku yang aku baca juga mengonfirmasi teori ini — bahwa spirit itu tetap ada.
Jadi “Eternal” ingin bercerita bahwa semua yang meninggalkan kita, sebenarnya nggak meninggalkan kita. Dan kita tidak boleh terlalu menangisi seseorang yang telah pergi karena mereka sebenarnya lebih plong.
Kematian itu bukan kontradiksi hidup. Tetapi kontradiksi kelahiran.
Filosofis sekali.
Aku memang suka membaca buku-buku filsafat karena menurutku sangat membantu. Aku pikir zaman dahulu — zaman Socrates dan Plato misalnya — banyak sekali orang-orang hebat yang tidak terkena polusi hidup. Dan orang-orang seperti itu jarang sekali ada di dunia. Mereka meninggalkan jejak yang harus kita baca untuk kita pelajari. Kalau bisa belajar satu hal saja, itu sudah lumayan.
Bacaan filsafat itu apakah membantu dalam proses penciptaan lagu?
Membantu sekali. Bahkan judul album “Echoes” ini berasal dari mitologi Yunani. Tapi aku nggak hanya baca filsafat, tapi juga koran, majalah, dan buku-buku.
Mana yang lebih sulit, menulis lagu dalam bahasa Perancis, Inggris, atau Indonesia?
Aku nggak menulis dalam bahasa Perancis. Nggak bisa, dan mungkin nggak mau. Selama ini aku kebanyakan menulis dalam bahasa Inggris lalu diterjemahkan ke bahasa Perancis.
Menulis itu susah. Menulis itu merangkum kembali apa yang baru kita lihat, baru kita pahami. Mengeluarkannya itu susah. Menemukan kata-kata yang tepat kan susah. Bukan sesuatu yang gampang. Bapakku pernah bilang, kamu baru bisa menulis satu lagu setelah kamu membaca berapa ribu kalimat. Makanya aku respek sama penulis. Suamiku seorang penulis. Hahaha.
Apakah Anggun mengikuti perkembangan musik di Indonesia?
Mengikuti tapi dari jauh. Banyak sekali artis pendatang baru.
Dua malam yang lalu aku lihat Vierra — dia itu musikalitasnya oke loh. Menulis lagunya oke. Dia pop ringan. Tapi kalau ringan itu kan bukan berarti nggak bagus. Terus, aku ngefans sama Kotak. Aku kagum sama Tantri. Aku pengin duet sama dia.
Sebenarnya Ariel itu pencipta lagu yang oke, loh. Sayang sekali di Indonesia kita suka salah kaprah mengenai masalah pribadi. Aku juga merasa aneh, kok dia malah dihukum. Padahal filmnya itu menghibur banyak orang *tertawa*
Buat aku, banyak sekali grup atau artis Indonesia yang potensinya sebanding dengan mereka yang dari luar negeri. Baik dari segi ide, maupun vokal. Tetapi masalahnya, kalau mau sukses di luar negeri, harus pindah ke sana. Contohnya Gigi. Beneran.
Kenapa untuk “go international”, seorang artis harus pindah keluar negeri dulu?
Sistem di luar negeri lebih bagus. Industri musik di Amerika itu benar-benar serius, jangkauannya ke mana-mana. Sama seperti industri di Inggris, Jerman, dan Perancis. Hak cipta diperhatikan.
Sementara di Indonesia? Ya ampun, bajakannya saja sudah bukan main. Padahal pembajakan, termasuk illegal downloading, membuat industri musik di dunia yang tadinya anggarannya gila-gilaan sekarang sudah tidak. Bisa bertahan saja sudah oke.
Banyak sekali artis yang kontraknya dikembalikan. Misalnya Phil Collins, sekarang dia sudah tidak punya kontrak lagi. Annie Lenox dipecat dari labelnya. Madonna setiap mengeluarkan album, dia harus mati-matian supaya lagunya diprogram di radio-radio.
Selain itu, kalau mau berjuang di sebuah negara, ya harus menetap di situ. Kita kan tidak sekadar mengirim lagu. Makanya aku memulai dari bawah, karena buat aku itu penting. Dari segi bisnisnya, banyak sekali lika-liku yang harus kita pahami.
Waktu albumku pertama kali keluar di Amerika, ada yang bilang, “Kamu sepertinya punya kans untuk bisa besar di Amerika. Tapi kamu harus tinggal di sini.” Tetapi aku enggan, soalnya itu berarti aku harus bekerja dengan produser Amerika. Aku harus punya selera humor yang Amerika banget. Harus beradaptasi lagi.
Anggun dan banyak artis memulai karier dari bawah. Padahal lewat YouTube, seorang anggota Brimob bisa langsung terkenal dalam dua hari.
Hahaha, itu kan fenomena kultur pop. Sutradara Andy Warhol dulu pernah bilang, “In the future, everyone will be world-famous for 15 minutes.” Dia sangat visioner.
Sekarang ini kalau kita lihat, semua orang pengin terkenal. Tapi itu hanya sementara. Kesannya hanya instan seperti kentang goreng McDonalds yang harus dimakan di tempat — karena begitu sampai rumah, sudah tidak enak lagi.
Buat aku, itu bukan sesuatu yang akan abadi. Fenomenanya akan abadi, tapi orangnya akan berganti-ganti.
Yang susah itu adalah menjadi seseorang yang tak tergantikan. Itu yang lebih bertahan lama, dan itu yang butuh perjuangan.
Meski lama tinggal di luar negeri, Anggun masih lancar berbahasa Indonesia.
Iya. Aku berbicara sama anakku hanya dalam bahasa Indonesia. Dia pintar bahasa Indonesia. Buatku itu salah satu kebanggan. Sisi nasionalisme buat seseorang itu bukan dari atribut yang kelihatan, apakah itu memakai batik atau lambang paspor. Buatku itu dimulai dari bahasa. Anak Indonesia harus bisa bahasa Indonesia, dong.
http://id.omg.yahoo.com/blogs/anggun-aku-ingin-duet-dengan-tantri-kotak-blog_editor-108.html